FILSAFAT IBNU SINA
I.
PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam
banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi
juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah
satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem
filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi
tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi
karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis
jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang
diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi
intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem
keagamaan Islam.
II. BIOGRAFI
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia
lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya
adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.Di
Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama
Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam
dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu
Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang
elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid
dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu
agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni
dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani
yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang -
cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian
otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami
ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru
setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya
Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang
terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu
metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang
setia dari Al-Farabi
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang
Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu
kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk
berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga
melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit.Ia
tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap
kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya
petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering
- sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas
panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih
kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan
dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar
didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal,
perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa
ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang
filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran
dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran
modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara
sistematis.
Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan
bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan
banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput
otak (miningitis).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah
manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey.
Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam
kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.
Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit -
penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia
juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini
disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di
masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil
yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang
gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger
Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam
Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat
Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya
tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan
sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang
meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga
pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan
penerangan dan keterangan yang luas.”
Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu -
ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya
dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk
ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika
orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai
textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad
pertengahan di Eropah sangat berpengaruh.
Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena
kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis
sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam
bahasa Persia. Buku - bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran
dalam tahun 1954.
Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah
As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa.
Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu,
ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah.
Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu
bentuk baru dan segera dikarangnya.
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan
soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya
yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar
pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke
baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya
adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan
titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam.
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1. As- Syifa’ (
The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang
Penyembuhan).
Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama
Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah
selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis
pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya
terbagi atas 4 bagian, yaitu :
1.1 Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair)
meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala
materi dari penulis - penulis Yunani kemudiannya.
1.2 Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan
hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu,
kekosongan dan gambaran).
1.3 Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan
yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya
Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
1.4 Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu
sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic
dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan
kepercayaan - kepercayaan.
Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran
filsafat di pelbagai sekolah tinggi.
2. Nafat, buku
ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun, buku
ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas
Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya.
Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa.
Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq,
diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus el
Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8. Danesh
Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul
Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz, kabir
wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara
lengkap.
11. Hikmah el
Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915
menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf.
Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud.
Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam
ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat
wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan
- peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah,
(buku tentang kebahagiaan Jiwa)
Dari autobiografi dan karangan - kaangannya dapat diketahui data tentang
sifat - sifat kepribadianhya, misalnya :
1. Mengagumi
dirinya sendiri
Kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni
Abu Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku
berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan
hinga aku dikagumi.
2. Mandiri
dalam pemikiran
Sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa
kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah
Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebtnya tentang jiwa
dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka.
Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima
pandangan mereka”.
3. Menghayati
agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.
Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya
setepat - tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara
syarat - syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu.
Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun
pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan
dimudahkan-Nya kesukaran.
4. Rajin
mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca
selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya
tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk
dengan hal - hal lainnya”
5. Pendendam.
Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung
perasaannya. Dia hormat bila dihormati.
6. Cepat melahirkan
karangan
Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis -
garis besar dari isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada
orang lain. Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang
tepat, amat mudah bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan
latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan
kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai
Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia
Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari
filosof - filosof).
Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan
keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk
memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena bias menimbulkan
permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah
menajamkan pikiran.
Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah
berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan
menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak
akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan
obta.
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras.
Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai
sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu
Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.
III. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA
A. Filsafat
Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap
pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang
khusus untuk soal - soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran
berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran
yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles,
Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak
dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu
Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang
sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan
metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode
eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam
segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia
mendekati pendapat - pendapat filosof modern.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat
diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai
akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas
Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah
falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham
pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal
kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh
dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang
berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh
adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan
kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya
Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki
disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian
merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain
dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain
itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya,
yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah
gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa
kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan
bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak
ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya
bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid
pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain
dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi
ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi,
al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan
berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka
dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak
membuat faham tauhid tidak murni lagi.
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui
emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi
ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan
prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya
Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa
ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada.
Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu
Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang
menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua
sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin
wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the
necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga
obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai
mungkin wujudnya
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal
dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa
manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis
besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1. Segi fisika
yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan
jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain -
lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang
sebenarnya.
2. Segi
metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
1.
Jiwa tumbuh - tumbuhan
- Makan (
nutrition)
- Tumbuh ( growth)
- Berkembang
biak ( reproduction)
2.
Jiwa binatang
-
Gerak ( locomotion)
-
Menangkap ( perception) dengan dua bagian :
*
Menagkap dari luar dengan panca indera
*
Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.
- Indera
bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
- Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
- Imaginasi
yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
- Estimasi
yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya
keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
- Rekoleksi
yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.
Jiwa manusia
-
Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan
hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a. Akal
materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
b. Intelectual
in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
c. Akal actuil,
yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d. Akal
mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak
dengan tak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga
macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada
dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa
yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat
dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit
yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul
dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir
didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik,
dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai
daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan
wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku – buku
filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang
tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya.
Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri
sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan –
pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut
atau al-amr. Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan
bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat,
sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena
keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain,
al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi
yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan
merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism)
dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai
derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia
terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah) :
Pertama jiwa tumbuhan (al-nafs
al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga
daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah)
dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat
berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs
al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya 1) daya penggerak (al-mukharikah)
dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah)
terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya
berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua
sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial
sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua
merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah
dan yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs
al-natiqah). Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah) dan 20
daya teoritis (al-alimah). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh
melalui daya – daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan
yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah,
sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga
akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal
teoritis kepada daya penggerak.
Al-Ghazali didalam Tahafut al-Falasifah
menyangkal 20 buah kesalahan para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu
mereka yang berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh
al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok :
1.
Filosof – filosof materialistik (dahriyyun)
Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya
Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya.
2.
Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).
Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam
semesta dan segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh
– tumbuhan. Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban –
keajaiban di dalam ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya
sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha
Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan,
kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan
dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.
3.
Filosof – filosof teis (ilahiyyun).
Mereka adalah filosoh – filosof Yunani seperti
Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof – fiosof
teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut
al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan
kebid’ahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya.
Filsafat Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh
penerjemah – penerjemah dan komentator – komentator karyanya (pengikutnya)
khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3 kelompok :
a.
Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.
b.
Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bid’ah.
c.
Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah :
Pertama, bahwa
Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui hal –
hal yang kecil - kecil.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk
membuktikan adanya jiwa yaitu :
1.
Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).
2.
Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
3.
Dalil kelangsungan (kontinuitas).
Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu
adalah sebagai berikut :
1.
Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di
tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut
adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
Gerak ada dua macam yaitu :
1) Gerak
paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar
dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2) Gerak bukan
paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a. Gerak sesuai
dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak
yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di
bumi, sdang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung
yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di
atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki
adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak.
Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua
mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini
menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya.
Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De
Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan
– kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut
dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda
tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda
tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka
tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerakmelawan
ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur –
unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin )
yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang
pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau
kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama
biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis
dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil
tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang dikarang pada masa
kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil
tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil
yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya
Ibnu sina.
2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan
tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan
ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar
atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang
dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang
berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus
oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi
beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami
perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama
lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi
karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan
beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah
membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan
dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad,
karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati
tokoh – tokoh pikir masa sekarang.
4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang
paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan
atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk
memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada
seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani,
kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada
di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan,
sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan,
dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai
saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut
tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat
menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak
mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya
adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga
dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan)
ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya,
tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber
lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil
Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda
mengharuskan adanya perkara – perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat
melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar
kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita
ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang
kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang
wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya
menyaksikan adanya jiwa tersebut.
B. Filsafat
Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang
mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri.
Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di
luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai
kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu
wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu
Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi
dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat
mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi yang
tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’
(
) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud
(
- impossible being).
2. Essensi yang
boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini
disebut mumkin
(
) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud.
Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya
akan hancur menjadi tidak ada.
3. Essensi yang
tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud
selama - lamanya. Yang serupa ini disebut
mestiberwujud
(
) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang
mewujudkan mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin,
tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada :
baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud
Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu,
yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu
Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib
(Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada
aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para
mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim
dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam
menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung
pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga
perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4
catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid)
yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang
baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud
(Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat
wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi
wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang
baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”.
Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada
sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu
lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan
- akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina
sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada
tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak
mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”,
seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan
sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan
“kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah
Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas
sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam
arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian
telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada
dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk
tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama,
seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib
darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari
pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara
mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti
ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang
berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara
gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu
Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep
Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina
menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi
hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke
arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni
dalan hubungan alam dengan Tuhan.
C. Falsafat
Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh
Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual,
“imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini
memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran
keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut
tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu
Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil
semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat
berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu
dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi
yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi - nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk
beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual
dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun
demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang
diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu
tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam
selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali
kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan
prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur
sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan
banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan
seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan
yang sebenarnya.
III. PENUTUP
¨
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya
mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman
keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd
menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali
menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.
¨
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi
(memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah
memancar segala yang ada.
¨
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda
dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak
mujstahil).
¨
Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia
yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual
yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar