I. AYAT-AYAT
WARIS
ALLAH SWT berfirman
"Allah mensyariatkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)
"Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)
"Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)
A. Penjelasan
Allah SWT melalui
ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'--
menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk
menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci
syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan
orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan
keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara
"tertentu", dan kapan pula ia menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui
bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi
aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara
lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat
tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus
mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang Maha
Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan
aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli
waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan
hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan
kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta
tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang
lemah.
Imam Qurthubi
dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu
rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid
memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu.
Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah
Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal,
dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua
orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima),
namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan
tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih jauh Imam
Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka
betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini.
Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun
demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini)
mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu kita ketahui
bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama
merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat
tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas:
membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum
dan syariat-Nya.
Di antara kita
mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan
dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di dalam Al-Qur'an
memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat
(nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima
mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan.
" (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam
Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat
dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari ketiga
ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat kedua
dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris
(sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang
bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih
berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.
Telah masyhur
dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling
mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang
dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.
Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi,
namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan
demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah
benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah
begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan
kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan
hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan
kekerabatan.
Adapun dalam ayat
pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman
yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah
SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh
keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat
tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa
membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga
tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu
rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat
pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak
saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah.
Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan
jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam
ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat
dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang
kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam
hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal
kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah,
mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang
telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
- Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan
keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh
ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di
antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah
kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai
kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa
saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih
besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki
untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak
dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar
kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan,
minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban
untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak
sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada
pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa
hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian
antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja
tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah
tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung
jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah
yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun
hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih
besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan
rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita
melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum
wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan
kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana
halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban
untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan
hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam
tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit,
baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama
masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya
raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai
semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan,
dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih
menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus
supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas
dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum
laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang
meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan.
Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka,
menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak
perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak
laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban
untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia
mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20
juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak
tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi
nafkah istrinya.
Adapun anak
perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang
mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp
1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu
juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon
suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk
membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang
banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang
berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan.
Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan
anak laki-laki habis.
Dalam keadaan
seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak
menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita?
Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali
lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1 Tafsir
al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.
B. Hak Waris Kaum
Wanita sebelum Islam
Sebelum Islam
datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari
peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum
wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab
jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memberikan
warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah
menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang
melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan,
sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi
kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara
zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik
dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah
Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta
peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa
direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan
menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya
sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu
kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab
pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau
saja hukum yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab
menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak
sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan
sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari
meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia
berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan
Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada
laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian
bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada
keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat
bagian kepada kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan
setengah bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada
anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk
berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya
kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan
dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk
mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai
Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih
ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah
kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak
dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan
musuh?'"
Inilah salah satu
bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah
mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan
hak waris kepada kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu,
bahkan telah menetapkan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah
Allah tetapkan bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja
kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang
yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita
dalam hal hak waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
Anggapan mereka
semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita tentang hak yang mereka
terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum
wanita dengan cara menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam
hal penerimaan warisan.
Mereka yang
memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita agar mereka
menjadi pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan hukum
dalam syariat Islam. Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan
hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang sangat
mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yang berpura-pura
prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil
terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti,
mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja demi menghidupi diri mereka,
di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab
malam, dan sebagainya.
Corak pemikiran
seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti
oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur seperti itu tidak
menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang
adil. Budaya mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat.
Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan
mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan
seizin kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan
kaum wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian,
mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita.
C. Asbabun Nuzul
Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat
yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin
ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya.
Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin
ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman
kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa
meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw.
bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah
ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
Rasulullah saw.
kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan
kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua
putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan
sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat
lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin
Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun,
seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum
laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan
masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban
persoalan itu.
Masih ada
sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini.
Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan,
artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah
disebabkan pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.
D. Kajian terhadap
Ayat-ayat Waris
Firman Allah yang
artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya
mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta
peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian,
sedangkan anak perempuan satu bagian.
- Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari
anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali
lipat bagian anak perempuan.
- Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada
juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang
harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah
sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki
dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
- Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak
laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun
ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun
pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi
penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian
laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan
dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat
ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak
laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
- Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu
pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak
ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya)
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang
telah menjadi ijma'.
Hukum bagian kedua
orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam."
Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam
bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
- Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka
ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan
sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami
dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga,
sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya
merupakan bagian ayah.
- Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai
saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian.
Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu
tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam
aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika
misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris
terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau
lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung
pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya
hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan
mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian.
Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak
dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai
kehidupan mereka.
Utang orang yang
meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya)
"sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang
orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu
ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian
barulah melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah
yang diamalkan Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah
[tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang
orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah
mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena
utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik
ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan
tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang
meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat
hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak
akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan
wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka
Allah SWT mendahulukan penyebutannya.
Firman Allah
(artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat
ini dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak
untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada
manusia, siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena
bagaimanapun bentuk usaha manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu
melaksanakannya secara sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan
pembagian yang adil seperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan
tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar
kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila
demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih baik,
lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Firman Allah
(artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut
menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri
masing-masing mempunyai dua cara pembagian.
- Apabila seorang istri meninggal dan tidak
mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari harta
yang ditinggalkan istrinya.
- Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai
keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang
ditinggalkan.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak
mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai
anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Hukum yang
berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris).
"
Yang dimaksud
ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah saudara
laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak
mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara
perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh
ulama.
Adapun yang
dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam
firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang
pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat
yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian,
sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta
peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara itu,
ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian,
mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat
bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini
harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat
an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu,
karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam
urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian
keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat
dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12)
adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat
an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.
Rincian Beberapa
Keadaan Bagian Saudara Seibu
A.
Apabila seseorang meninggal dan
mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan
seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
- Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih,
mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang
zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk
dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat
bagian yang sama dengan bagian saudara perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian
kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau
dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil
dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam
kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang
kekuatannya'.
Ulama sepakat
(ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan
tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia
berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya
ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun
bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas
dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal yang
tidak mempunyai ayah dan anak. "
Firman Allah
(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar
utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat
tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata
mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif
mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat
untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang
dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang
padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat
menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli waris tidak wajib
dilaksanakan.
Hukum Keadaan
Saudara Kandung atau Seayah
Firman Allah SWT
dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian
saudara kandung atau saudara seayah.
A.
Apabila seseorang meninggal dan
hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli
waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal)
tidak mempunyai ayah atau anak.
- Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau
seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris
adalah dua per tiga dibagi secara rata.
- Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan
saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki
mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
- Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak
mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian
saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih
dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi
saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung
atau saudara perempuan yang sekandung.
Pembagian
Waris Menurut Islam
oleh Muhammad Ali ash-Shabuni
penerjemah A.M.Basamalah
II. WARIS
DALAM PANDANGAN ISLAM
SYARIAT Islam menetapkan aturan
waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan
cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau
kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci
secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,
kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum
waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
(
A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam
bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.
Pengertian menurut
bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta,
tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak
menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah
berfirman:
"Dan Sulaiman
telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami
adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita
dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli
waris para nabi'.
Sedangkan makna
al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian
peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya).
Hak-hak
yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak
yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan
dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan
catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut
menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga
pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya
pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang
terakhir.
Satu hal yang
perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan
berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya
maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang
piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya,
seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli
warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh)
orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini
adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang
tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum
menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama
ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa
ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan
(harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama
mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah,
sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal,
menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan
keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah
meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi
orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari
kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu
saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya
bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya.
Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.
Sedangkan jumhur
ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris
terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada
sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak
memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang
menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan menurut
pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi
hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat
bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya
sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan
dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada
Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada
sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara
bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap
ahli waris.
3. Wajib menunaikan
seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh
harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi
orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya,
termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata
wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka
wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli
warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan
Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan
seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda:
"... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau
meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada
meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu
barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya
sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli
waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami,
dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima
sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris,
wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal
secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan,
baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan
wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan
benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga
kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan
utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam
susunan ayat tersebut.
B. Derajat Ahli
Waris
Antara ahli waris
yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut
ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
- Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama
diberi bagian harta warisan. Mereka adalah orang-orang yang telah
ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
- Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh,
barulah ashabat nasabiyah menerima bagian. Ashabat nasabiyah yaitu setiap
kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah
dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak
mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu
dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan
seterusnya.
- Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian
(kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada
semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada
ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.
Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa
harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya
ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama
mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.
- Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat
di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim --tidak
termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu),
bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak
perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan. Maka, bila pewaris
tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah, para
kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk
mendapatkan warisan.
- Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila
pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan
'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta
warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya,
seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk
mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan
yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya.
Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu
juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
- Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah
karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak
laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan
mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk
salah satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini
sudah tidak ada lagi.
- Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga
harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah
seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai
sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada
semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada
seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab
Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila
memang wasiatnya demikian.
- Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang
meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat --seperti yang saya
jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal
untuk kemaslahatan umum.
C. Bentuk-bentuk
Waris
- Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan
bagiannya).
- Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan
dari pihak ayah).
- Hak waris secara tambahan.
- Hak waris secara pertalian rahim.
Pada bagian
berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.
D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab
yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
- Kerabat hakiki (yang
ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
- Pernikahan, yaitu
terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan
perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama)
antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa
menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
- Al-Wala, yaitu
kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala
an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang
dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat
kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang
yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri
seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya
hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki
ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena
adanya tali pernikahan.
E. Rukun Waris
Rukun waris ada
tiga:
- Pewaris, yakni orang
yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta
peninggalannya.
- Ahli waris, yaitu
mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris
dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau
lainnya.
- Harta warisan, yaitu
segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa
uang, tanah, dan sebagainya.
F. Syarat Waris
Syarat-syarat
waris juga ada tiga:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara
hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
- Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada
waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti,
termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud
dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah
bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau
sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang
tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang
keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya
sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus
diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih
hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak
kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia
meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya,
pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara
syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak
untuk mewarisi.
Sebagai contoh,
jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal
dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui
mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling
mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh
kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,
mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini
posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian
yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang
pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung,
saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum
bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang
karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub),
serta ada yang tidak terhalang.
G. Penggugur Hak
Waris
Penggugur hak
waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi
gugur, dalam hal ini ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang
berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak
yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang
telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang
disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur
hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak
milik.
2.
Pembunuhan
Apabila seorang
ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia
tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah
seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman
hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha
yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan
bagiannya."
Ada perbedaan di
kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi
menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua
jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab
Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang
dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang
mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain
itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut
mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi
penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya,
pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3.
Perbedaan Agama
Seorang muslim
tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya.
Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah
berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi
muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama
berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan
pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal
r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi
tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam
ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada
yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad.
Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal
ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan
agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di
kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad,
apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim
mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab
Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak
mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang
murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang
tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw.
dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut
mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad.
Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta
peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim."
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis,
pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang
lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus
diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui
baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun
internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang
sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang
membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada
baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang
tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak
warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal
dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli
waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih
kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah,
atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian,
maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris
yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya
dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara
kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan
istilah mahjub.
Untuk lebih
memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami
meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak
--dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai
berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris
dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang
ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak
tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau
saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan
saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang
mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8,
menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara
kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli
waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
H. Ahli Waris
dari Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu
orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1)
anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek
(dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki
seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung
laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara
kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari
paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami,
(15) laki-laki yang memerdekakan budak.
Catatan
Bagi cucu
laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari
cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki.
Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
I. Ahli Waris dari Golongan Wanita
Adapun ahli waris
dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan
(dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari
bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8)
saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan
Cucu perempuan
yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan
nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
III. PEMBAGIAN
WARIS MENURUT AL-QUR'AN
JUMLAH bagian yang
telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat
(1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam
(1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris
yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
A. Ashhabul
furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang
berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu
dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh
tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti
berikut:
1.
Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat
apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya
adalah firman Allah:
"...
dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan
istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..."
(an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan
(kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti
anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
- Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal.
Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya
seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua
persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat
bagian setengah.
3. Cucu perempuan
keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:
- Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki
(yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki).
- Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
- Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan
ataupun anak laki-laki.
Dalilnya sama saja
dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan
bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi
auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal
ini telah menjadi kesepakatan para ulama.
4. Saudara kandung
perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:
- Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
- Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara
perempuan).
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan
tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan
perempuan.
Dalilnya adalah
firman Allah berikut:
"Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa':
176)
5. Saudara
perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan
pewaris, dengan empat syarat:
- Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
- Apabila ia hanya seorang diri.
- Pewaris tidak mempunyai saudara kandung
perempuan.
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan
tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama
dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.
B. Ashhabul
furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat
pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya
ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami
berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan
satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya
ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri
akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan
satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan
firman Allah berikut:
"... Para
istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang
patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian
istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi
seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata
lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka
tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan
firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk
jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang
istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta
peninggalan.
C. Ashhabul
furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan
ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri.
Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman
Allah SWT:
"... Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)
D. Ashhabul
furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang
berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada
empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki
atau lebih.
- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini
terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:
1.
Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki,
yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"...
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per
tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal
penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang
ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak
perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini
merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis
Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana
diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut
sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak
perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut
adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan
menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga
(2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
- Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik
laki-laki atau perempuan.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung
perempuan.
- Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara
laki-laki.
3. Dua saudara
kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan
persyaratan sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki
maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
- Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu
tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
"...
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara
perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat
sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau
kakek.
- Kedua saudara perempuan seayah itu tidak
mempunyai saudara laki-laki seayah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik
laki-laki maupun perempuan).
Persyaratan yang
harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua
per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di
sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik
laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa
ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..."
(an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan
seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian
ayat tersebut. Wallahu a'lam.
E. Ashhabul
furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul
furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu
dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak
mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki
dari keturunan anak laki-laki.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau
lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah
ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"...
dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga
firman-Nya:
"...
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun
bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna
'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai
bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa
bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam
istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu
sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan
kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu
berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong
(untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat
bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki
ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
- Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau
lebih.
Adapun
dalilnya adalah firman Allah:
"...
Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)
Catatan
Yang dimaksud
dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah
'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan
saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'.
Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan
perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa
yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada
hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum
syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata
bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara
saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus
memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian
saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas
ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun
perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara
laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara
laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.
Masalah
'Umariyyatan
Pada asalnya,
seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan
pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya
jelaskan--- berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga".
Akan tetapi,
berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan
fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua
hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat
ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang
cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya
diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya
dikurangi bagian suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.
Contoh Pertama
Seorang istri
wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah
(1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari
sisa setelah diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang
ada. Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:
Pokok
masalahnya dari 6
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Suami
|
½
|
3
|
Ibu
|
1/3 dari sisa
setelah dikurangi bagian suami
|
1
|
Ayah
|
Seluruh sisa
peninggalan sebagai 'ashabah
|
2
|
Dalam contoh kasus
ini ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambil bagian suami
pewaris, sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia
akan mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunya bertentangan
dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an dalam bagian
ayat "lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetap
menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta
warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi
dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.
Contoh Kedua
Seorang suami
meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian
seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu
mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan
bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.
Pokok
masalahnya dari 4
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Isteri
|
¼
|
1
|
Ibu
|
1/3 dari sisa
setelah dikurangi bagian isteri
|
1
|
Ayah
|
Mendapat bagian
seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai 'ashabah
|
2
|
Dari kedua contoh
tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada tabel pertama
adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat (1/4).
Adapun penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak
suami atau istri adalah karena menyesuaikan adab qur'ani.
Masalah
'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin
Khathab r.a.. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat
pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur
ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian ibu
adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat
yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat
bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri
(anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah
memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak
suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam
Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta
peninggalan yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami
atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu
abawahu".
Jadi, menurut
hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta
ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.
F. Asbhabul
Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul
furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah
(1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7)
saudara laki-laki dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah
akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak
laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan
untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek
(bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai
anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan
syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek
akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan
saya rinci dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan
memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan
dua syarat:
- Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau
perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
- Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau
lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah,
ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"...
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam
(1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam
keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6),
sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan
Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang
masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu
perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa
kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan
yang setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."
Merasa kurang puas
dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu
Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah diputuskan
Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris,
dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam
(1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan
pewaris."
Mendengar jawaban
Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu
permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian
menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."
Catatan
Cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6) dengan
syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak
laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu,
pewaris juga tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika
lebih dari satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per
tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.
5. Saudara
perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6),
apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya
sama denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan
dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau
lebih, maka saudara perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung
memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6)
yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara
laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam
(1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya)
"jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta". Dan
persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan
tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).
7. Nenek asli
mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu.
Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah
maupun ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal
ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma'
seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan
meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk
menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu
dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya
kepada para sahabat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah
mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah
saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan
al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya
seperenam (1/6). Wallahu a'lam.
Pembagian Waris
Menurut Islam
oleh
Muhammad Ali Ash-Shabuni
A. Dalil Hak
Waris Para 'Ashabah
Dalil yang
menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya):
"dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini
disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing
mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila
pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik
kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak
mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut
tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa
setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan
demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an
yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak." (an-Nisa': 176).
Pada ayat ini
tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara
kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada
bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat
"wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan
menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil
dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
"Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi
hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini
menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya.
Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling
utama dari 'ashabah.
Ada satu
keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan
menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata
"rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini
hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang
ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal
penggunaan kata "dzakar".
B. Macam-macam
'Ashabah
'Ashabah terbagi
dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena
sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab
itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang
dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah
nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur
unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan
(3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Catatan
Dalam dunia
faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa
dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin
nafs.
'Ashabah
bin nafs
'Ashabah bin nafs,
yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita,
mempunyai empat arah, yaitu:
- Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan
anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
- Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya,
yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari
kakak, dan seterusnya.
- Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung
laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara
kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan
seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan
yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun
saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka
termasuk ashhabul furudh.
- Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki
ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan
seterusnya.
Keempat arah
'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih
didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada
arah saudara.
Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya
jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan
hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)
menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil
seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari
ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan
kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh
ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian.
Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung
perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami
mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah
(1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah
menghabiskannya.
Adapun bila para
'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya
(pengunggulannya) sebagai berikut:
Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam
suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka
pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan
dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada,
atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh
bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak
bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki,
ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah
anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain.
Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama
dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak
mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara
saudara kandung laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan
kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.
Kedua: Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam
suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi,
kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat
mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak
laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak,
sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada
pewaris dibandingkan cucu laki-laki.
Contoh lain, bila
seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara
kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat
kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut
pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.
Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu
keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam
arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara
mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara
kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman
seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah,
dan seterusnya.
Catatan
Perlu untuk
digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini,
bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan
arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan
untuk arah saudara dan arah paman.
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?
Satu pertanyaan
yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab,
keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang,
ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya
garis anak tidak didahulukan daripada garis ayah.
Namun demikian,
ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa
dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya)
"dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
Dalam ayat
tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris
mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian,
jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris,
setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.
Sedangkan secara
aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik
dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang
tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam
membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak
sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan
hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang
disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah
majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
Makna hadits
tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena
sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak
segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa
mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan
menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka
takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan
rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada
anaknya dibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
Catatan
Satu hal yang mesti
kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan
dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti
wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya
tidak mempunyai keturunan (kerabat).
'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah bi
ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
- Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila
bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan
menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak
laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik
sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
- Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah
bila bersama saudara kandung laki-laki.
- Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah
bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi
Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah
wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul
furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak
perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan
adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan
demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki
yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki
tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak
laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai
pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan
saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan
disebabkan tidak sederajat.
Ketiga: laki-laki
yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul
fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara
kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya
daripada saudara laki-laki seayah.
Catatan
Setiap perempuan
ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak
mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara
perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki.
Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya
sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil bagi hak
waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan"
(an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka
bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan" (an-Nisa': 176).
Para ulama sepakat
bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah
saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka
berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan
yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul
furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara
laki-laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya):
"maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).
Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
Adapun sebab
penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu
bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena
adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki
ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu
tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.
'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al
Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan
seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai
saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan
seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan
anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di
kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
Satu hal yang
perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab
Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan
seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar
bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak
terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara
fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan
berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu
digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara
perempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."
Dalil 'Ashabah ma'al Ghair
Yang menjadi
landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak
waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara
perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak
perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."
Penanya itu lalu
pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan
memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan
setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam
(1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak
saudara perempuan kandung atau seayah."
Penanya itu pun
kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan
Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku
selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."
Dari penjelasan
Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi
bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal
ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai
'ashabah ma'al ghair.
Catatan
Sangat penting
untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi
'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki
sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun
yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah
mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang
seayah.
Begitu juga
saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi
bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki
seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
Untuk lebih
menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:
Contoh Pertama
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara
laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pokok
masalahnya dari 2
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Anak perempuan
|
1/2
|
1
|
Saudara kandung
perempuan 'ashabah ma'al ghair
|
1/2
|
1
|
Saudara
laki-laki seayah
|
gugur
|
0
|
Keterangan
Bagian anak
perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara
kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya
seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang
karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah.
Contoh Kedua
Seorang wanita
meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah.
Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:
Pokok
masalahnya dari 4
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Suami
|
1/4
|
1
|
Cucu perempuan
|
1/2
|
2
|
Saudara kandung perempuan
|
'ashabah
ma'al ghair
|
1
|
Saudara
laki-laki seayah
|
mahjub
|
0
|
Keterangan
Suami memperoleh
seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian
sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris
sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur
karena adanya dua saudara kandung.
Contoh Ketiga
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan
seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti
berikut:
Pokok
masalahnya dari 3
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Dua anak
perempuan
|
2/3
|
2
|
Saudara
perempuan seayah
|
'ashabah
ma'al ghair
|
1
|
Anak saudara
laki-laki
|
mahjub
|
0
|
Keterangan
Dua orang anak
perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah
disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki
ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.
Contoh Keempat
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman
kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok
masalahnya dari 6
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
Nilai
|
Anak perempuan
|
1/2
|
3
|
Cucu perempuan
|
1/6
|
1
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
Saudara
perempuan seayah
|
'ashabah
ma'al ghair
|
1
|
Keterangan
Anak perempuan
mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan
seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah
ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia
menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.
Catatan
Saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris
mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak
saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi 'ashabah.
C. Perbedaan
'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair
Dari uraian
sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiap wanita
ahli waris yang termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila
berbarengan dengan saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi
'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki pewaris).
Saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil
ghair dengan adanya saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah.
Dalam hal ini bagi yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun 'ashabah
ma'al ghair adalah para saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan
seayah bila berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam hal ini mereka
mendapatkan bagian sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul furudh
mengambil bagian masing-masing. Tampak semakin jelas perbedaan antara dua macam
'ashabah itu, pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih,
seperti anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara
kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al
ghair tidak terdapat sosok 'ashabah bi nafsih.
Jadi, secara
ringkas, pada 'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandeng kaum
wanita ashhabul furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya.
Sedangkan 'ashabah ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan
sekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti bagian anak perempuan atau
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau
cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian
saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.
Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?
Kita mungkin
sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini memerlukan
jawaban. Maka dapat ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkan warisan
dari dua arah yang berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga
sebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang kedua dari arah karena
rahim. Agar persoalan ini lebih jelas, saya sertakan contoh:
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan
seorang suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka
pembagiannya sebagai berikut: Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki
seibu seperenam (1/6), suami setengah (1/2) sebagai fardh-nya, dan sisanya
untuk suami sebagai 'ashabah karena ia anak paman kandung.
Contoh lain:
seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan, bibi
(saudara ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti
berikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanya
ikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada
karena ikatan rahim.
V. PENGHALANG HAK
WARIS (AL-HUJUB)
A. Definisi
al-Hujub
Al-hujub dalam
bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT
berfirman:
"Sekali-kali
tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)
Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)
Yang dimaksud oleh
ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat
melihat Tuhan mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam
bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga
pintu', disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa
izin guna menemui para penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim
fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek)
ialah mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi
orang lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang
terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian
al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk
menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya
orang yang lebih berhak untuk menerimanya.
B. Macam-macam
al-Hujub
Al-hujub terbagi
dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi
(karena orang lain).
Al-hujub bil
washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut
terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang
membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub
bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang
lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua:
hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan
seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek
karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak,
terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub
nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris
ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris
mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang
suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari
seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal yang
perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan
tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini
merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli
waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang
yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak
kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila
orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya
harus mendapatkan warisan.
Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Sederetan ahli
waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari
laki-laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai
berikut:
- Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh
adanya ayah, dan juga oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris.
- Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh
adanya ayah, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
- Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan
adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung
perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya
ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
- Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan
terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang
(anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak
perempuan.
- Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan
terhalangi oleh adanya anak laki-laki. Demikian juga para cucu akan
terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat).
- Keponakan laki-laki (anak saudara kandung
laki-laki) akan terhalangi dengan adanya ayah dan kakek, anak laki-laki,
cucu kandung laki-laki, serta oleh saudara laki-laki seayah.
- Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki
seayah) akan terhalangi dengan adanya orang-orang yang menghalangi
keponakan (dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan adanya
keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).
- Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan
terhalangi oleh adanya anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga
terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-laki dari
saudara laki-laki seayah.
- Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok
yang menghalangi paman kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
- Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung)
akan terhalangi oleh adanya paman seayah, dan juga oleh sosok yang
menghalangi paman seayah.
- Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan
terhalangi dengan adanya sepupu laki-laki (anak paman kandung) dan dengan
adanya sosok yang menghalangi sepupu laki-laki (anak paman kandung).
Sedangkan lima
ahli waris dari kelompok wanita adalah:
- Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan
terhalangi dengan adanya sang ibu.
- Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan
terhalang oleh adanya anak laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun
lebih. Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang anak
perempuan atau lebih, kecuali jika ada 'ashabah.
- Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh
adanya ayah, anak, cucu, cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).
- Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan
adanya saudara kandung perempuan jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair.
Selain itu, juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu,
cicit, dan seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh
adanya dua orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan
bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya 'ashabah.
- Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh
adanya sosok laki-laki (ayah, kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya
cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun
perempuan.
Saudara Laki-laki yang Berkah
Apabila anak
perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara
laki-laki (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat
ataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki
dapat menyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak
mendapat fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang
berkah atau saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu
laki-laki, cucu perempuan tidak akan mendapat warisan.
Kemudian, apabila
saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3),
gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara
laki-laki seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya
menjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah,
sebab tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan
menerima hak waris mereka.
Saudara Laki-laki yang Merugikan
Kalau sebelumnya
saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini saya
akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut
saudara laki-laki yang merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris
dari kalangan wanita tidak mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara
laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris. Agar
lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.
Pertama:
Seorang wanita
meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami
seperempat (1/4) bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6)
bagian, anak perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena
merupakan bagian wanita.
Seandainya dalam
kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak
cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu
perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa
ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang
merugikan".
Kedua:
Untuk lebih
memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang
merugikan. Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah,
anak perempuan, serta cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4)
bagian karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian,
ayah seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2)
bagian karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan
tidak mendapat bagian.
Itulah contoh
tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena
memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu
perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai
penyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucu
perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara
laki-laki yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak
laki-laki.
Ilustrasi seperti
itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan
keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki
seayah. Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai
saudara laki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara
laki-laki seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa.
C. Tentang Kasus
Kolektif
Menurut kaidah
yang biasa dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta waris dimulai
dengan ashhabul furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah. Para ulama
menyandarkan kaidah ini pada hadits Rasulullah saw. (artinya): "Berikanlah
hak waris kepada ashhabul furudh, dan sisanya diberikan kepada kerabat
laki-laki yang lebih dekat."
Namun demikian,
dalam masalah ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif, sesuatu yang
keluar dan menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal juga dengan
istilah "kasus musytarakah" (kasus kolektif). Sementara itu, di sisi
lain masalah ini telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para sahabat,
tabi'in, dan imam mujtahidin.
Contoh
permasalahannya sebagai berikut; seorang wanita wafat dan meninggalkan seorang
suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu (atau lebih dari dua orang), dan dua
orang saudara kandung laki-laki (atau lebih dari dua orang). Pembagiannya adalah
seperti berikut: suami mendapat setengah (1/2) bagian dikarenakan pewaris tidak
mempunyai anak secara fardh, ibu mendapat seperenam (1/6) bagian disebabkan
pewaris mempunyai dua orang saudara laki-laki atau lebih, dan dua orang saudara
seibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Sedangkan saudara kandung laki-laki
tidak mendapatkan bagian karena ia sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris
yang dibagikan telah habis.
Berdasarkan kaidah
yang berlaku, saudara kandung laki-laki sebenamya memiliki kekerabatan lebih
kuat dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada kasus ini justru terjadi
sebaliknya. Karena, masalah ini merupakan kasus kolektif, selain sebagai
masalah yang menyimpang dari kaidah aslinya, juga karena para sahabat, tabi'in,
serta para imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini-- menyatakan bahwa
saudara kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-laki yang seibu, hingga
mereka mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan secara rata di antara
mereka (termasuk saudara kandung laki-laki). Di samping itu, masalah ini juga
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejak masa para
sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.
Perbedaan
Pendapat Para Fuqaha
Dalam masalah
musytarakah (kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhur dalam hal membagi
hak waris sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa
hak waris saudara kandung digugurkan sebagaimana mengikuti kaidah yang ada.
Pendapat ini pernah dilakukan oleh Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, dan lainnya.
Sedangkan pendapat
kedua menyatakan bahwa hak waris pada saudara kandung dikolektifkan dengan hak
waris para saudara laki-laki seibu. Pendapat ini dilakukan oleh Zaid bin
Tsabit, Utsman, Ibnu Mas'ud, dan lainnya. Pendapat pertama dianut dan diikuti
oleh mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan pendapat yang kedua diikuti dan
dianut oleh mazhab Maliki dan Syafi'i.
Selain itu,
masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan
"umariyah", karena Umar bin Khathab pernah memvonis masalah ini
--juga pernah dikenal dengan sebutan Himariyah, Hajariyah, dan Yammiyah.
Diriwayatkan bahwa
masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin Khathab r.a.. Umar
baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis: saudara kandung
tidak mendapat bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun berikutnya,
masalah ini diajukan kembali kepadanya. Ketika ia hendak memvonis seperti tahun
lalu, proteslah salah seorang ahli warisnya: "Wahai Amirul Mukminin,
sungguh mustahil bila ayah kami dianggap keledai atau batu yang terbuang di
sungai. Bukankah kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan
orang itu dan berpikir bahwa apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia
memvonis dengan memberi hak kepada mereka (saudara seibu dan saudara sekandung)
secara bersamaan dan dibagi sama rata. Contohnya adalah sebagai berikut:
Asal masalah
dari enam 6 naik menjadi 18
Suami 1/2 harta
waris yang ada secara fardh
|
3
|
9
|
Ibu 1/6 harta
waris yang ada secara fardh
|
1
|
3
|
Saudara seibu
1/3 secara fardh dan dibagi merata dengan saudara kandung
|
2
|
4
|
Saudara kandung
dapat hak waris, karena dianggap seperti saudara seibu dengan mendapat bagian
sepertiga (1/3) dibagi adil
|
-
|
2
|
Persyaratan Masalah Kolektif
- Jumlah saudara seibu dua orang atau lebih, baik
laki-laki atau perempuan.
- Saudara yang ada benar-benar saudara kandung,
sebab bila saudara seayah maka gugurlah haknya secara ijma'. Dan dalam hal
ini tidak berbeda apakah hanya satu orang atau banyak.
- Saudara kandung itu harus saudara laki-laki.
Sebab bila perempuan, maka akan mewarisi secara fardh, dan masalahnya pun
akan naik, serta kekolektifan ini akan batal.
Beberapa Kaidah Penting
Hak waris banul
a'yan (saudara kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat (saudara
laki-laki/perempuan seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-laki/perempuan
seibu) akan gugur (terhalangi) oleh adanya anak laki-laki pewaris, cucu
laki-laki (keturunan anak laki-laki), dan ayah. Hal ini merupakan kesepakatan
seluruh ulama.
Menurut mazhab Abu
Hanifah hak mereka juga digugurkan oleh adanya kakek pewaris. Sedangkan menurut
ketiga imam mazhab yang lain tidaklah demikian. Masih menurut mazhab Hanafi,
hak waris banul akhyaf digugurkan dengan adanya anak perempuan pewaris, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki pewaris, dan seterusnya.
Kaidah yang lain
ialah bahwa banul akhyaf mendapatkan hak waris secara merata pembagiannya
antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah
(artinya) "mereka bersekutu dalam yang sepertiga."
VI HAK WARIS
KAKEK DENGAN SAUDARA
A. Pengertian
Kakek yang Sahih
Makna kakek yang
sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita,
misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis
wanita disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau
ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah yang ada di
dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-laki, maka
kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah
kakek yang sahih."
B. Hukum Waris
antara Kakek dengan Saudara
Baik Al-Qur'an
maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek yang
sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas
sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka cenderung
sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud
r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami
tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan
kepadaku tentang masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."
Pernyataan serupa
juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:
"Barangsiapa
yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia memvonis
masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."
Ketakutan dan
kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek dan saudara
itu tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits Nabi
yang menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan
ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat mengkhawatirkan mereka,
karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya mempunyai
hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya
tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau
hukum tentang hak kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalau berlaku
zalim dan aniaya.
Perlu saya
tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah
SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak
kepemilikan materi ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail
agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di kalangan umat manusia,
khususnya para ahli waris.
Namun demikian,
masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad para
salaf ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga
serta dibukukan secara lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan
memudahkan setiap orang yang ingin mengetahuinya sambil bersandar kepada
ijtihad yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta dapat dijadikannya
sandaran dalam berfatwa.
C. Perbedaan
Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek
Para imam mazhab
berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan dengan saudara, sama
seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw..
Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.
Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara kandung, saudara
seayah, ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek.
Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada,
karena kakek merupakan bapak yang paling 'tinggi'. Hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah saya sebutkan
sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih
didahulukan adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara,
dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah
kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis.
Misalnya, jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah
arah anak. Bila 'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang
didahulukan adalah arah saudara, kemudian barulah arah paman.
Lebih lanjut
golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah --mencakup kakek dan
seterusnya-- lebih didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris para
saudara akan terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak
waris oleh saudara bila ada ayah.
Mazhab ini
merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Pendapat
ini diikuti oleh mazhab Hanafi.
Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan dan
saudara laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan
kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang
seayah, sama seperti halnya ayah.
Alasan yang
dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan
kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah,
demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara
adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu
dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu
dan mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang
dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara
kandung kemudian di antara mereka ada yang tidak diberi.
Alasan lain yang
dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara --yang jelas lebih
muda daripada kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para kakek.
Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan
kepada para kakek, kemudian ia wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah
kepada anak-anaknya yang berarti paman para saudara. Dengan demikian para paman
menjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak
mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.
Pendapat ini
dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin
Hambal, dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu
Yusuf. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid
bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah
ridhwanullah 'alaihim.
D.Tentang Mazhab
Jumhur
Untuk lebih
menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- maka saya perlu
mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan saudara,
maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.
Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli
waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan,
dan sebagainya.
Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain,
seperti ibu, istri, dan anak perempuan.
Hukum Keadaan
Pertama
Bila seseorang
wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang
lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agar lebih
banyak memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan
cara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta
warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah
yang menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan
cara pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah
yang menjadi haknya.
Makna Pembagian
Makna pembagian
menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia
mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki. Apabila
kakek berhadapan dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi
yang sama seperti saudara kandung laki-laki. Berarti kakek mendapatkan bagian
dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Bila cara
pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih
cara mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.
Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek
Ada lima keadaan
yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima keadaan
tersebut sebagai berikut:
- Kakek dengan saudara kandung perempuan.
- Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
- Kakek dengan tiga orang saudara kandung
perempuan.
- Kakek dengan saudara kandung laki-laki.
- Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan
saudara kandung perempuan.
Adapun
penjelasannya seperti berikut:
Pada keadaan
pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).
Pada keadaan kedua
kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan
ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).
Pada keadaan
keempat kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan
kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).
Kelima keadaan itu
lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.
Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang
Ada tiga keadaan
yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian
ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu
sebagai berikut:
- Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.
- Kakek dengan empat orang saudara kandung
perempuan.
- Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki
dan dua orang saudara kandung perempuan.
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek
Selain dari
delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga (1/3) kepada
sang kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara
kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat sepertiga (1/3), dan
sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kali lipat
bagian wanita.
Kalau saja dalam
keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan dirugikan
karena akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.
Catatan
Hukum tentang hak
waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika bersama dengan kakek
--tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnya sama dengan
hukum yang saya jelaskan di atas.
Hukum Keadaan
Kedua
Bila kebersamaan
antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh
yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilih salah satu
dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian,
menerima sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6) dari seluruh harta
waris yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat bagiannya tidak
kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris
setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau
bahkan kurang, maka tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh,
dan para saudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya. Ketetapan ini telah
menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
Adapun bila cara
pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya-- bagian sang
kakek lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu. Dan jika
sepertiga (1/3) sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka
itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari
seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah bagiannya
yang telah ditentukan syariat.
Contoh Keadaan
Kedua
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara kandung
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah (1/2)
karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak
seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.
Pada contoh kasus
ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara pembagian. Sebab
dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam (1/6).
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung
laki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:
ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa
harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan,
dengan ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Dalam contoh kedua
ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan sepertiga dari sisa harta
setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat sepertiga (1/3) dari lima
per enam (5/6).
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek,
kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi
anak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6),
dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung perempuan sesuai jumlah
orangnya secara rata.
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek,
dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami
mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3), dan
kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara laki-laki tidak
mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.
Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak
perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu,
dan sepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk
kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan cucu
perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua
per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam.
Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebab
ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada.
E. Bila Saudara
Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek
Persoalan yang
saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanya bersamaan
dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek jika ia
tidak hanya bersama dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengan
saudara seayah. Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa para
saudara seayah dikategorikan sama dengan saudara kandung, mereka dianggap satu
jenis.
Apabila pemberian
dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalam keadaan seperti ini
dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakek mendapatkan
bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya menjadi hak para saudara
kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah bersama-sama, maka saudara
seayah mahjub, haknya menjadi gugur.
Akan tetapi, jika
saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudara kandung perempuan,
maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan bagian sisa harta yang ada,
setelah diambil hak saudara kandung perempuan (1/2) dan hak kakek (1/3).
Agar persoalan ini
tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan beberapa contoh kasus.
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-laki dan
saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakek mendapat
sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki memperoleh dua per tiga
(2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah mahjub (terhalangi) karena
adanya saudara kandung laki-laki.
Dalam contoh
pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena itu bagian
kakek sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3),
sedangkan saudara laki-laki seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih
kuat dan dekat, yakni saudara kandung laki-laki.
Jumlah sepertiga
(1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yang ada:
"hendaklah kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling menguntungkannya,
mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara pembagian". Kebetulan
dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek menghasilkan bagian yang
sama, yaitu sepertiga.
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung perempuan,
kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara perempuan
seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung perempuan mendapat
setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, sedangkan sisanya
diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan seayah --dengan ketentuan
bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Pada contoh kedua
ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpa menggunakan cara
pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwa keberadaan para
saudara laki-laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikan kakek pada
cara pembagian. Kalaulah pemberian kepada kakak dalam contoh ini menggunakan
cara pembagian, tentu hal ini akan merugikannya karena ia akan menerima bagian
kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu, saya berikan
haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga (1/3).
Setelah itu saya
berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh, karena ia lebih
kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkan para saudara
laki-laki/perempuan seayah. Sisanya barulah untuk mereka.
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara kandung
laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti
berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua per enam
(2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki. Dalam hal
ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan keberadaannya
hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Catatan
Pada contoh ketiga
--seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-laki/perempuan seayah
merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kemudian, dalam masalah ini
kita berikan nasib (bagian) saudara perempuan seayah sebanyak dua per enam
(2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-laki kandung, sebab saudara
perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung. Bila kita
lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan kakek
dalam hal ini adalah cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga (1/3)
sisa harta waris setelah diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah
ibu.
Barangkali untuk
lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya.
Masalahnya 12
Bagian ibu 1/6
secara fardh
|
2
|
Bagian kakek 2/6
secara pembagian dengan saudara kandung laki-laki
|
4
|
Bagian saudara
kandung (sisanya)
|
6
|
Bagian saudara
perempuan seayah mahjub
|
0
|
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudara kandung
perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu
memperoleh seperenam (1/6) bagian, kakek sepertiga (1/3), dan saudara kandung
perempuan mendapat setengah (1/2), sedangkan bagian dua orang saudara seayah
sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
Masalahnya 12 dan
naik menjadi 36
Bagian ibu 1/6
|
6
|
Bagian kakek 1/3
(sisa setelah diambil ibu)
|
10
|
Bagian saudara
kandung perempuan setengah (1/2)
|
18
|
Bagian dua orang
saudara laki-laki seayah (sisanya)
|
2
|
Catatan
Apabila pewaris
hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara
laki-laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek.
Sebab, seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat
menggugurkan hak waris saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu hanyalah bila
pewaris sebagai kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan
tidak pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Di samping itu,
hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris dari
keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya
kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta
anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi hak kakek.
F. Masalah
al-Akdariyah
Istilah
al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita
dari bani Akdar.
Sedangkan sebagian
ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah
--yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup
mengotori mazhab Zaid bin Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah
akan kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia pernah menghadapi masalah waris dan
memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari
kaidah-kaidah faraid yang masyhur.
Permasalahannya
seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu,
kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah
yang telah disepakati seluruh fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit
sendirimaka pembagiannya adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung
perempuan. Sebab, suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu mendapat sepertiga
(1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian
kakek yang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh.
Oleh sebab itu, sudah semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan
karena tidak ada sisa harta waris.
Akan tetapi, dalam
kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia
memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari
enam (6) menjadi sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung
perempuan dengan saham kakak, dan membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali
lipat bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya menjadi dua puluh tujuh (27),
dan pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian, ibu enam
(6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4)
bagian.
Dalam hal ini Imam
Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit,
sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam
tersebut.
Berikut ini saya
sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga setelah
ditashih.
Masalahnya adalah
dari enam (6)
Suami mendapat
setengah (1/2) secara fardh
|
3
|
Ibu mendapat
sepertiga (1/3) secara fardh
|
2
|
Kakek mendapat
seperenam (1/6) sisanya/fardh-nya
|
1
|
Saudara kandung
perempuan mahjub
|
0
|
Adapun tabel
setelah ditashih menurut al-akdariyah seperti berikut:
Masalahnya naik
dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)
Bagian suami
menjadi
|
9
|
Bagian ibu
menjadi
|
6
|
Bagian kakek
menjadi
|
8
|
Bagian saudara
kandung perempuan menjadi
|
4
|
Catatan
Dalam masalah
al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah
satu yang diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.
VII. MASALAH AL
'AUL DANAR-RADD
A. Definisi
al-'Aul
Al-'aul dalam
bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan
tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa':
3)
Al-'aul juga
bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang
artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti
tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi
al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan
berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi
ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis,
padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti
ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta
waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka
menjadi berkurang.
Misalnya bagian
seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi
sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan
dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami
yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9
(sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka
dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul
Pada masa
Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul
atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris--
tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar
bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan
pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan
ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih
lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan
meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam
ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan
bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian,
berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami
tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang
ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap
menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi
kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti,
siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan.
Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris
akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku
berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan
berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan
ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit
dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid
dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya."
Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul
(penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang
ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan,
sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok
masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh
empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat,
yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh
pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta
seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian
saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka
dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat
sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok
masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang
wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4),
bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni
3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung
perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang
lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya
dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak
setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan
menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan
semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan
bagian para ashhabul furudh.
Pokok Masalah
yang Dapat Di-'aul-kan
Sebagaimana telah
saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan
ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga
pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai
misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni
dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu
tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali
saja.
Kemudian pokok
masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun
hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya
dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17).
Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan
tiga kali saja.
Sedangkan pokok
masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh
(27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di
kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk lebih
menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang
di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
- Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak
perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam
(1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu
bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan
bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6)
--sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini
tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara
kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2)
berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti
tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti
satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok
masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7).
Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu,
saudara kandung perempuan, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami
setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian,
saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara
perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah
bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam
(8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan.
Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah
al-mubahalah.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami,
dua orang saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki
seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian
suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara
kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena
itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian
sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah
marwaniyah.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua
orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami
setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua
orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian
dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh
tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding
sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula
enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan
istilah syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok
Masalah Dua Belas (12)
Seperti telah saya
kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja,
yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut
ini saya berikan contoh-contohnya:
- Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan
dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut:
pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4)
berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan
bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti
delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya,
yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13)
sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri,
ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah,
dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut:
pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti
tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung
perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara
perempuan seayah seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga--
berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam
(1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima
belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas
(15).
- Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang
istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat
orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat
(1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam
(1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua
per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara
perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini
tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui pokok
masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya
harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.
Contoh 'Aul Dua
Puluh Empat (24)
Pokok masalah dua
puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan
menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada
dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka
menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini
sedang berada di atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini
seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu,
anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat
seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti
empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak
perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu
perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam contoh
tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang
menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita
harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang
harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam
masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan
menjadi angka dua puluh tujuh.
Catatan
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari
harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang
ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2),
maka pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang
lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian
sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya
dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang
lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat
seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok
masalahuya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan
yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat
seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari
delapan, dan tidak ada 'aul.
D. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam
bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna
'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa
berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah
menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan
..." (al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa
disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah,
palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd
menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan
kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal,
dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah
menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa
--sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta
waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai
dengan bagian mereka masing-masing.
E. Syarat-syarat
ar-Radd
Ar-radd tidak akan
terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah
ini:
- adanya ashhabul furudh
- tidak adanya 'ashabah
- ada sisa harta waris.
Bila dalam
pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan
terjadi.
F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat
terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya,
suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari
sisa harta waris yang ada.
Adapun ashhabul
furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
- anak perempuan
- cucu perempuan keturunan anak laki-laki
- saudara kandung perempuan
- saudara perempuan seayah
- ibu kandung
- nenek sahih (ibu dari bapak)
- saudara perempuan seibu
- saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai
ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa
keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan
bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya --ayah atau
kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris
sebagai 'ashabah.
G. Ahli Waris
yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris
dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan
istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan
tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali
pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka
(suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat
bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu
keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami
atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
H. Macam-macam ar-Radd
Ada empat macam
Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam
itu:
- adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan
tanpa adanya suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan
tanpa suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan
adanya suami atau istri
- adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan
dengan adanya suami atau istri
Hukum Keadaan
Pertama
Apabila dalam
suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang
sama --yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian
setengah, atau seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak
terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah
ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar
lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.
Sebagai misal,
seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok
masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai
fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd.
Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka
merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
Contoh lain, bila
seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan, maka
pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd.
Misal lain,
seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka
pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.
Hukum Keadaan
Kedua
Apabila dalam
suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada salah
satu dari suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya,
bukan dari jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka
pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang
dijadikan pokok masalah, yakni tiga.
Contoh-contoh
keadaan kedua
- Seseorang wafat meninggalkan seorang anak
perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak lak-laki. Maka pokok
masalahnya dari empat, karena jumlah bagiannya ada empat.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu,
saudara kandung perempuan, serta saudara laki-laki seibu. Maka jumlah
bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek,
anak perempuan, serta seorang cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung
perempuan serta saudara perempuan seayah. Maka pokok masalahnya empat,
karena jumlah bagiannya empat.
- Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Maka
pokok masalahnya lima, karena jumlah bagiannya adalah lima.
Begitu seterusnya,
yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.
Hukum keadaan
Ketiga
Apabila para ahli
waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah satu dari
suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok masalahnya
dari sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya
dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Sebagai misal,
seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami
mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan
kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok
masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti
satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi
secara rata.
Misal lain,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki
seibu, serta seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat,
karena angka itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu
istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4).
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak
perempuan. Pokok masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh
yang tidak dapat di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri
mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan
sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan
dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan
setelah ditashih pokok masalahnya menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya)
sebagai berikut: ibu mendapatkan seperdelapan dari empat puluh, berarti lima
bagian, sedangkan sisanya --tiga puluh lima bagian-- dibagikan secara merata
kepada kelima anak perempuan pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh
bagian.
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam
hal ini pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib fardh
yang tidak dapat di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4)
bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secara merata untuk
keempat anak perempuan pewaris.
Dalam contoh ini
juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu, pokok
masalah yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga
pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas
berarti empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara
merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak
memperoleh tiga bagian.
Hukum keadaan
Keempat
Apabila dalam
suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di dalamnya
terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus
menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan
suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri.
Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat
kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana
yang paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul
(kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Untuk lebih
memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya:
Seseorang wafat
dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi pertama
tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok
masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah
bagian yang ada).
Bagian nenek
seperenam (1/6) berarti satu bagian.
Bagian kedua
saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua
menyertakan suami atau istri:
Pokok masalahnya
dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan,
yaitu istri.
Bagian istri
seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.
Sisanya, yakni
tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat
kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan
bagian dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut
berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila
istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal
tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah
ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan
ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
Contoh lain:
seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.
Pada ilustrasi
pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari enam, dan
dengan ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.
Sedangkan dalam
ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari delapan,
karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.
Apabila istri
mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan
(7/8), dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara
fardh dan radd.
Seperti kita
ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah
berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah
pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah
pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.
Kini, setelah kita
kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri
adatah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia mendapat lima
(5) bagian.
Bagian kedua anak
perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang tersisa tiga
puluh lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian kedua anak
perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi
pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti
dua puluh delapan (28) bagian.
Adapun bagian ibu
adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian)
dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh
(7) bagian.
Jadi, dari jumlah
keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah
bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:
Ilustrasi pertama
tanpa menyertakan suami/istri
Pokok masalahnya
aslinya dari 65, dengan radd, menjadi 5
|
|
|
Bagian kedua
anak perempuan 2/3
|
berarti
|
4
|
Bagian ibu
seperenam (1/6)
|
berarti
|
1
|
Jumlah bagian
|
|
5
|
Ilustrasi kedua
dengan menyertakan suami/istri
Pokok masalah
dari delapan, diambil dari ahlul fardh yang tak dapat di-radd
|
|
setelah
tashih menjadi
|
40
|
Bagian istri
1/8, berarti
|
1
|
setelah
tashih
|
5
|
Bagian dua anak
perempuan dan ibu
|
7
|
|
|
setelah tashih
bagian anak perempuan
|
4
x 7
|
|
28
|
bagian ibu
|
4
x 7
|
|
7
|
VIII.
PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN
MENGETAHUI pokok
masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini
agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga
pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak
masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok
masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh
angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit.
Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang
jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).
Untuk mengetahui
pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya.
Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya
termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan
antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh
ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per
kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau
seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok
masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli
waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak
laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal
ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya,
seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga
perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit
meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya
sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika
ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti
itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang
suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab,
bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah
(1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama
--misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok
masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok
masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan
(1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika
para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni
tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan,
yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah
(saling berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas
masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama
ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami
pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang
mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid
membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para
ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4,
1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan
seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila
dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2),
seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan
seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam
suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan
seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok
masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.
Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika
dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama
(1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah
yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti
tersebut di bawah ini:
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah
(1/2) --yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan salah satu dari
kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh
seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan
seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua
belas (12).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh
seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan
seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua
puluh empat (24).
Untuk lebih
memperjelas kaidah tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman
kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat setengah (1/2),
saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman
sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh
menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak
menerima harta waris.
Dari contoh
tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan
sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan
kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihat diagram:
Pokok masalah
dari enam (6)
Suami setengah
(1/2)
|
3
|
Saudara
laki-laki seibu seperenam (1/6)
|
1
|
Ibu sepertiga
(1/3)
|
2
|
Paman kandung,
sebagai 'ashabah
|
0
|
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara
laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya
seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai
'ashabah.
Pada contoh ini
tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama--
dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok
masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara
empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara
laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah
dari dua belas (12)
Istri seperempat
(1/4))
|
3
|
Ibu seperenam
(1/6)
|
2
|
Dua saudara
laki-laki seibu sepertiga (1/3)
|
4
|
Saudara kandung
laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)
|
3
|
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka
pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan
setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam
(1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6).
Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat
sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini
tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama
dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang
ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini
tabelnya:
Pokok masalah
dari 24
Bagian istri
seperdelapan (1/8)
|
berarti
|
3
|
Bagian anak
perempuan setengah (1/2)
|
berarti
|
12
|
Cucu perempuan
dari anak laki-laki seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
Bagian ibu
seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
Saudara kandung
laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)
|
|
1
|
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai
hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 =
24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24).
Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan
delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi,
kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah
seterusnya.
A. Tentang Tashih
Agar kita dapat
memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus
mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan. Yaitu,
at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/saling
bercampur), at-tawaafuq (saling bertautan), dan at-tabaayun (berbeda/saling
berjauhan).
Apabila pokok
masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan
jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan
cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut
kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah
bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini
memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Definisi Tashih
Tashih dalam
bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu
faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris
tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Definisi at-Tamaatsul
At-Tamaatsul dalam
bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut
ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak
atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga berarti sama dengan
tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.
Definisi at-Tadaakhul
At-Tadaakhul dalam
bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari
"keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang
besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi
angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat
(4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27)
dengan angka sembilan (9).
Definisi at-Tawaafuq
At-Tawaafuq dalam
bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah
setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka di
antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6 keduanya
dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30 sama-sama dapat dibagi oleh
angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4, demikian
seterusnya.
Definisi at-Tabaayun
At-Tabaayun dalam
bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling berbeda.
Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang satu
dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan
lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5
dengan 9.
Untuk mengetahui
secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannya dengan istilah
lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua
bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang
kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka kedua bilangan itu ada tawaafuq.
Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka
disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua
bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.
B. Cara Mentashih
Pokok Masalah
Setelah kita
ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan
at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan
untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya,
kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali
dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini
dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian
tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui
jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi
ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari
para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh,
sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan
yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama,
melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per
kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang
berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan.
Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli
waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris
yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di
antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli
waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian
sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak
perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap
anak mendapat bagian satu).
Adapun bila
terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok
masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang
menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok
masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai
bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan
mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm.
Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok
masalah.
Untuk lebih
memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca
dapat lebih memahaminya.
Contoh amaliah
tentang pentashihan pokok masalah
Seseorang wafat
dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya
dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti
empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga
seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua
orang, penj.).
Dalam contoh
tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka
peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah,
sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu)
tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan
pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang
at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan
seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian
ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara
perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat
saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4)
bagian.
Bila kita
perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak
memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang
dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang
mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka
setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak
memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa
contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh masalah
yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan,
ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya
dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat
(4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian)
adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Kita lihat dalam
contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan
jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut
istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian
dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x
6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.
Misal lain,
seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua
orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian
suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara
kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di
atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara
kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita
ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan
dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x
9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok
masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat
sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas
bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 =
27).
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3)
bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu
perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2
bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai
'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:
|
3
|
|
|
12
|
36
|
Suami 1/4
|
3
|
9
|
Anak perempuan
1/2
|
6
|
18
|
Tiga cucu
perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
|
2
|
6
|
Saudara kandung
laki-laki ('ashabah)
|
1
|
3
|
Berdasarkan tabel
tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki
dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan),
karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka
angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan.
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan
saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok
masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3,
kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6
berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara
kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
|
5
|
|
24
|
27
|
135
|
Istri 1/8
|
3
|
15
|
Lima anak
perempuan 2/3
|
16
|
80
|
Ayah 1/6
|
4
|
20
|
Ibu 1/6
|
4
|
20
|
Saudara kandung
laki-laki (mahjub)
|
-
|
-
|
Dalam tabel tersebut
kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per
kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian
kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per
kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokok masalah setelah
pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.
Misal lain,
seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua
orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.
Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya
dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya =
16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya)
yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel
berikut:
|
28
|
|
|
24
|
672
|
3 istri
bagiannya 1/8
|
3
|
84
|
7 anak perempuan
2/3
|
16
|
448
|
2 orang nenek
1/6
|
4
|
112
|
saudara kandung
laki-laki ('ashabah)
|
1
|
28
|
Saudara laki-lah
seibu (mahjub
|
-
|
-
|
Dalam tabel
tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala
mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara
kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan
(tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah
per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung
(yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm.
Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 =
672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan.
Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.
C. Pembagian
Harta Peninggalan
At-tarikah
(peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan
itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian
yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui
pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus
ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam
hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer.
Cara pertama: kita
ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah
bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli
waris.
Cara kedua: kita
ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini
kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah
(nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok
masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing
ahli waris.
Contoh Cara
Pertama
Seseorang wafat
dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta
peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya
dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2
berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya
(yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun nilai
(harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480
dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per
bagian.
Jadi,
|
bagian istri
|
3 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
60 dinar
|
|
Anak perempuan
|
12 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
240 dinar
|
|
Ibu
|
4 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
80 dinar
|
|
Ayah ('ashabah)
|
5 bagian
|
x
|
20 dinar
|
=
|
100 dinar
|
|
|
|
|
Total
|
=
|
480 dinar
|
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami,
cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada
sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12
kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang
berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu
memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua
saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti
berikut:
|
|
2
|
|
|
|
12
|
24
|
24 Cucu
perempuan keturunan anak laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Suami 1/4
|
1/4
|
3
|
6
|
Ibu 1/6
|
1/6
|
2
|
4
|
2 saudara
perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
|
1
|
2
|
|
Adapun nilai per
bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli waris:
Jadi,
|
Cucu pr.
keturunan anak laki-laki
|
12
|
x
|
40 dinar
|
=
|
480 dinar
|
|
Suami
|
6
|
x
|
40 dinar
|
=
|
240 dinar
|
|
Ibu
|
4
|
x
|
40 dinar
|
=
|
160 dinar
|
|
Dua saudara
kandung perempuan
|
2
|
x
|
40 dinar
|
=
|
80 dinar
|
|
|
|
|
Total
|
=
|
960 dinar
|
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki,
ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000
dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian
ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu
mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak,
dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti
bagian anak perempuan 4 bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian
anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara
kandung laki-laki mahjub. Simak tabel berikut:
|
|
2
|
|
|
|
6
|
12
|
Empat anak
perempuan
|
|
4
|
4
|
Dua anak
laki-laki
|
|
3
|
4
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
2
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
2
|
Tiga saudara
kandung laki-laki (mahjub)
|
-
|
-
|
|
Adapun nilai per
bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi,
|
Jadi bagian 4
anak perempuan
|
4
|
x
|
250 dinar
|
=
|
1.000 dinar
|
|
dua anak
laki-laki
|
4
|
x
|
250 dinar
|
=
|
1.000 dinar
|
|
ibu
|
2
|
x
|
250 dinar
|
=
|
500 dinar
|
|
ayah
|
2
|
x
|
250 dinar
|
=
|
500 dinar
|
|
|
|
|
Total
|
=
|
3.000 dinar
|
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara
laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan
(dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung
perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2,
sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:
|
|
6
|
9
|
Suami
|
1/2
|
|
3
|
Saudara kandung
perempuan
|
1/2
|
|
3
|
Saudara laki-laki
seibu
|
1/3
|
|
2
|
Nenek
|
1/6
|
|
1
|
Adapun nilai per
bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi,
|
Suami
|
3
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
3.300 dinar
|
|
Saudara
perempuan kandung
|
3
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
3.300 dinar
|
|
Dua saudara
laki-laki seibu
|
2
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
2.200 dinar
|
|
Nenek
|
1
|
x
|
1.100 dinar
|
=
|
2.200 dinar
|
|
|
|
|
Total
|
=
|
9.000 dinar
|
Bila seseorang
wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki,
sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti
berikut:
Pokok masalahnya
dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3
bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3
(berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan
para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh
bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh.
Perhatikan tabel berikut:
|
12
|
13
|
Suami
|
1/4
|
3
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
Dua anak
perempuan
|
2/3
|
8
|
Tiga cucu
perempuan
Dua cucu perempuan
|
'ashabah
|
-
|
Jadi,
|
Suami
|
3
|
x
|
585:13 dinar
|
=
|
135 dinar
|
|
Ibu
|
2
|
x
|
585:13 dinar
|
=
|
90 dinar
|
|
Dua anak
perempuan
|
8
|
x
|
585:13 dinar
|
=
|
360 dinar
|
|
|
|
|
Total
|
=
|
585 dinar
|
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih
menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12
bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti
6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
|
|
12
|
24
|
Cucu pr. ket.
anak laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
4
|
Suami
|
1/4
|
3
|
6
|
Dua saudara
kandung ('ashabah)
|
|
1
|
2
|
Cucu pr. ket.
anak laki-laki
|
12
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
120 dinar
|
Ibu
|
4
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
40 dinar
|
Suami
|
6
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
60 dinar
|
Dua saudara
kandung ('ashabah)
|
2
|
x
|
240:24 dinar
|
=
|
20 dinar
|
|
|
|
Total
|
=
|
240 dinar
|
Misal lain,
seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak
laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu
bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian--
menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli
waris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:
|
|
6
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
Cucu pr. ket.
anak laki-laki
|
1/2
|
3
|
Dua saudara
kandung pr. ('ashabah)
|
|
2
|
Saudara
perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)
|
|
-
|
Masalah Dinariyah ash-Shughra
Ada dua masalah
yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra
dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh
ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima
satu dinar.
Contoh masalahnya,
seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek,
delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu.
Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang istri
mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2
bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian),
sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian).
Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya
pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti
ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
|
12
|
17
|
|
Ke-3 istri
|
1/4
|
3
|
masing-masing 1
bagian = 1 dinar
|
Kedua nenek
|
1/6
|
2
|
masing-masing 1
bagian = 1 dinar
|
Ke-8 sdr. pr.
seayah
|
2/3
|
8
|
masing-masing 1
bagian = 1 dinar
|
Ke-4 sdr. pr.
seibu
|
1/3
|
4
|
masing-masing 1
bagian = 1 dinar
|
Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah
ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian
terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing
ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar,
sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang
mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut
ad-dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini
sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak
perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung
perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri
mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian),
kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian
merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung
perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian
|
Istri
|
3
|
x
|
600:24 dinar
|
=
|
75 dinar
|
|
Ibu
|
4
|
x
|
600:24 dinar
|
=
|
100 dinar
|
|
Kedua anak
perempuan
|
16
|
x
|
600:24 dinar
|
=
|
400 dinar
|
|
|
|
|
Total
|
=
|
575 dinar
|
Sedangkan ke-12
saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat
sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak
laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar
dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua
(2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut
ini tabelnya:
|
|
25
|
|
|
|
24
|
600
|
Istri
|
1/8
|
3
|
75
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
100
|
Kedua anak
perempuan
|
2/3
|
16
|
100
|
12 saudara
kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)
|
1
|
|
24
1
|
Masalah
ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang
mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak
saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut
kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang
menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga
memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita
tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan,
namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya,
"Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak
perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita
tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak
lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin
Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah
berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam
bish shawab.
IX. HUKUM
MUNASAKHAT
A. Definisi
Munasakhat
Al-munasakhat
dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam kalimat
nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran
lain'; nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari
menghilangkan bayang-bayang'.
Makna yang pertama
--yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
"...
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan."
(al-Jatsiyah: 29)
Sedangkan makna
yang kedua sesuai dengan firman berikut:
"Ayat mana
saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?"
(al-Baqarah: 106)
Adapun pengertian
al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli
waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli
warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum
menerima hak warisnya (karena memang belum dibagikan), maka hak warisnya
berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul suatu masalah
yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.
Al-munasakhat
mempunyai tiga macam keadaan:
Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan sosok
ahli waris yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan
cara pembagian warisnya pun tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan
meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah seorang dari kelima anak itu ada
yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris kecuali
saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan
kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu
tidak ada dari awalnya.
Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari
pewaris pertama, namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka
terhadap pewaris. Misalnya, seseorang mempunyai dua orang istri. Dari istri
yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri
kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal,
berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga
perempuan). Kemudian, salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta
waris peninggalan ayahnya dibagikan. Maka ahli waris anak perempuan ini adalah
sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun, dalam kedua keadaan itu
terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada keadaan
yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak.
Tetapi dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki
terhadap yang meninggal berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang
perempuan sebagai saudara kandung perempuan. Jadi, dalam hal ini pembagiannya
akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara yang disebut
oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.
Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama.
Atau sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris
dari dua arah, yakni dari pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal
seperti ini kita juga harus melakukan teori al-jama'iyah, sebab pembagian bagi
tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.
B. Rincian
Amaliah al-Munasakhat
Sebelum kita
melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahulu harus
melakokan langkah-langkah berikut:
- Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan
memberikan hak waris kepada setiap ahlinya, termasuk hak ahli waris yang
meninggal.
- Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan
dengan kematian pewaris kedua, tanpa mempedulikan masalah pertama.
- Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam
masalah pertama, dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya dalam
masalah kedua.
- Perbandingan antara keduanya itu dalam
kecenderungannya terhadap ketiga nisbat, yaitu al-mumatsalah,
al-muwafaqah, dan al-mubayanah. Bila antara keduanya --yakni antara bagian
pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain-- ada mumatsalah
(kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah hanya dengan tashih yang pertama
(lihat tabel).
Sebagai contoh,
seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara kandung
perempuan, dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian salah seorang
saudara kandung perempuan itu meninggal. Berarti ia meninggalkan seorang
saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari tiga (3). Ketiga anak
perempuan mendapat 2/3 (2 bagian). Dan sisanya (satu bagian) merupakan hak para
'ashabah (yakni dua saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung
laki-laki).
Kemudian kita
lihat jumlah per kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4 = 12. Kemudian
angka ini kita kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12 = 36. Bilangan
inilah yang kemudian menjadi pokok masalah hasil pentashihan. Jadi,
pembagiannya seperti berikut: ketiga anak perempuan mendapat 2/3 (24 bagian),
dan sisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung perempuan dan
seorang saudara kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
bagian anak perempuan, jadi setiap saudara kandung perempuan mendapat tiga (3)
bagian, dan saudara laki-laki kandung enam (6) bagian.
Kemudian, kita
lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok masalahnya (juga dari
3) ada kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini sama dengan hasil
pentashihan pada masalah yang pertama (yakni dari 36).
Kemudian, hak
waris/bagian saudara kandung perempuan yang meninggal (3 bagian) hanya
dibagikan kepada ahli waris, yaitu seorang saudara kandung perempuan dan
seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian, hasil pembagian itu ditambahkan
pada hasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian saudara kandung perempuan
menjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang diperolehnya dari masalah pertama--
ditambah dengan bagian yang berasal dari saudara kandung perempuan yang
meninggal, yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).
Sedangkan saudara
kandung laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang kemudian ditambahkan dengan
perolehannya dari peninggalan pada masalah pertama, yaitu enam (6) bagian. Maka
saudara laki-laki kandung memperoleh delapan (8) bagian.
Adapun tiga anak
perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak mendapatkan hak waris,
disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakan pewaris kedua, yakni anak
perempuan dari saudara laki-laki pewaris kedua. Karena itu, mereka mahjub.
Berikut ini saya sertakan tabelnya:
Jumlah kepala
|
Tashih masalah
ke I
|
al-Jami'ah
|
12
|
3
|
36
|
|
3
|
36
|
3
anak pr. 2/3
|
2
|
24
|
|
-
|
24
|
Sdr.
kandung pr.
|
3
|
|
meninggal
|
-
|
-
|
Sdr.
kandung pr.
|
1
|
3
|
Sdr.
kandung pr.
|
1
|
3+1=4
|
Sdr.
kandung lk.
|
6
|
|
Sdr.
kandung lk.
|
2
|
6+2=8
|
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki. Kemudian cucu tersebut meninggal dengan meninggalkan suami,
ibu, tiga anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut:
Pokok masalahnya
dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu 1/6 (4
bagian), cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkan
sisanya (lima bagian) merupakan bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlah
semuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.
Kemudian, kita lihat
al-jami'ah dalam masalah ini sama dengan pokok masalah pertama, yaitu dua puluh
empat (24). Hal ini karena kita dapati bagian pewaris kedua (cucu perempuan
keturunan anak laki-laki) dalam masalah pertama ada tamatsul (kesamaan) dengan
pokok masalah yang kedua. Dalam keadaan demikian, kaidah yang berlaku di
kalangan ulama faraid adalah kita menjadikan pokok masalah pertama sebagai
al-jami'ah, yang berarti bagian pewaris kedua hanya dibagikan kepada ahli
warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak lagi membuat al-jami'ah yang baru, tetapi
cukup menjadikan al-jami'ah yang pertama itu berlaku pada masalah kedua.
Berikut ini tabelnya:
|
Pokok
Masalah I
|
Pokok
Masalah II
|
|
al-Jami'ah
|
|
24
|
12
|
|
24
|
Istri 1/8
|
3
|
|
|
3
|
Ibu 1/6
|
4
|
-
|
|
4
|
Ayah ('ashabah)
|
5
|
-
|
|
5
|
Cucu pr.
keturunan anak lk. 1/2
|
|
12
|
meninggal
|
-
|
Suami 1/4
|
|
3
|
|
3
|
Contoh yang
memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan suami, ayah, ibu,
dan dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan saudara kandung
perempuan, ibu, istri, dan saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut:
Pokok masalahnya
dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15). Sedangkan
pokok masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi tiga
belas (13).
Suami mendapatkan
seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan seperenam (1/6) berarti
dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam (1/6), berarti dua
bagian.
Kemudian dua anak
perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8) bagian. Jumlahnya
lima belas (15) bagian.
Kemudian, antara
masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah (perbedaan),
karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokok masalah
yang kedua (yakni 13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195)
merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua masalah.
Lalu kita
tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian) di atas
pokok masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hak
waris). Juz'us sahm ini kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli
waris yang ada, maka akan merupakan hasil bagian ahli waris dari al-jami'ah
(penyatuan dari dua masalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah kedua
ini, kita lihat hasil perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3)
dengan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39
ini merupakan jumlah bagian seluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel
berikut:
|
13
|
|
3
|
|
12
|
15
|
12
|
13
|
39
|
Suami 1/4
|
3
|
meninggal
|
-
|
-
|
Ayah 1/6
|
2
|
|
-
|
26
|
Ibu 1/6
|
2
|
|
-
|
26
|
2 anakperempuan
(2/3)
|
8
|
|
-
|
104
|
Sdr. Kandung
perempuan (2/3)
|
|
|
6
|
18
|
Ibu 1/6
|
|
|
2
|
6
|
Istri 1/4
|
|
|
3
|
9
|
Sdr. laki-laki
seibu 1/6
|
|
|
2
|
6
|
Catatan
Kemungkinan besar
dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu. Misalnya, dalam suatu keadaan
pembagian waris salah seorang ahli warisnya wafat sebelum pembagian, kemudian
ada lagi yang meninggal, dan seterusnya. Maka jika terjadi hal seperti ini,
kita tetap harus menempuh cara seperti yang telah kita tempuh dalam
al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada posisi pertama, dan
tashih ketiga pada posisi kedua, dan seterusnya. Dan hasilnya dinamakan
al-jami'ah kedua, al-jami'ah ketiga, dan seterusnya.
Untuk menjelaskan
hal ini perlu kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk al-jami'ah yang
lebih dari satu ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan suami, saudara
perempuan seibu, dan paman kandung (saudara ayah). Kemudian suami wafat dan
meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ayah, dan
ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, dan meninggalkan nenek, dua
saudara kandung perempuan, dan dua saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabel
berikut:
|
2
|
|
1
|
7
|
|
3
|
8
|
|
6
|
|
6
|
12
|
6
|
7
|
84
|
Suami 1/2
|
3
|
meninggal
|
|
|
|
-
|
|
Sdr.pr. seibu
1/6
|
1
|
|
|
2
|
|
|
14
|
Paman ('ashabah)
|
2
|
|
|
4
|
|
|
28
|
Anak
perempuan 1/2
|
|
|
3
|
3
|
meninggal
|
|
|
Cucu
pr. 1/6
|
|
|
1
|
1
|
|
-
|
7
|
Ayah
1/6
|
|
|
1
|
1
|
|
-
|
7
|
Ibu
1/6
|
|
|
1
|
1
|
|
-
|
7
|
Nenek
1/6
|
|
|
|
|
|
1
|
3
|
2
sdr. kandung pr. 2/3
|
|
|
|
|
|
4
|
12
|
2
sdr. lk. saudara seibu 1/3
|
|
|
|
|
|
2
|
6
|
C. At-Takharuj
min at-Tarikah
Yang dimaksud
dengan at-takharuj min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang ahli waris
dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i). Dalam hal
ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari
salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta peninggalan yang ada. Hal
ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
Syariat Islam juga
memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris menyatakan diri tidak akan
mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan kepada ahli waris yang lain,
atau siapa saja yang ditunjuknya. Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau "menggugurkan
diri dari hak warisnya".
Diriwayatkan bahwa
Abdurrahman bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yang mempunyai empat orang
istri. Ketika ia wafat, salah seorang istrinya, Numadhir binti al-Asbagh,
menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil hak waris sekadar seperempat dari
seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah yang diambilnya --sebagaimana
disebutkan dalam riwayat-- ialah seratus ribu dirham.
Tata
Cara Pelaksanaannya
Apabila salah
seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau menyatakan hanya
akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua cara yang dapat menjadi
pilihannya. Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh ahli waris yang ada, dan
cara kedua, ia hanya memberitahukannya kepada salah seorang dari ahli waris
yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.
Cara pertama:
kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris yang
mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan
sisanya dibagikan kepada ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada
itulah pokok masalahnya.
Sebagai contoh,
seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Kemudian
sebagai misal, pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp 42 juta.
Kemudian istri menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah, dan
menggugurkan haknya untuk menerima bagian dari harta yang berjumlah Rp 42 juta
itu. Dalam keadaan demikian, maka warisan harta tersebut hanya dibagikan kepada
anak perempuan dan ayah. Lalu jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang
menjadi pokok masalahnya. Rincian pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari
dua puluh empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil) hak istri, yakni
seperdelapan dari dua puluh empat, berarti tiga (3) saham. Lalu sisanya (yakni
24 - 3 = 21) merupakan pokok masalah bagi hak ayah dan anak perempuan. Kemudian
dari pokok masalah itu dibagikan untuk hak ayah dan anak perempuan. Maka,
hasilnya seperti berikut:
Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000
Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000
Bagian ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000
Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000
Cara kedua:
apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan hakuya lalu
memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka pembagiannya hanya
dengan cara melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada
bagian orang yang diberi. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang
isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Kemudian anak perempuan
itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah seorang dari saudara
laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya.
Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak
laki-laki, sedangkan bagian anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang
saudara laki-laki yang diberinya hak bagian. Perhatikan tabel berikut:
Pokok masalah 8
|
|
Tashih
40
|
40
|
Isteri 1/8
|
1
|
5
|
5
|
Anak laki laki
('ashabah)
|
|
14
|
14
|
Anak laki laki
('ashabah)
|
7
|
14
|
14+14
|
Anak perempuan
('ashabah)
|
|
7
|
-
|
Maka, pokok
masalahnya dari delapan, dan setelah ditashih menjadi empat puluh. Istri
mendapat seperdelapan (1/8) berarti lima (5) bagian, dan bagian setiap anak
laki-laki empat belas (14) bagian, dan sisanya --yakni tujuh bagian-- adalah
bagian anak perempuan. Kemudian, hak anak perempuan itu diberikan kepada salah
seorang saudara laki-lakinya yang ia tunjuk sebelumnya.
X. HAK WARIS
DZAWIL ARHAM
A. Definisi
Dzawil Arham
Arham adalah
bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat
pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi
'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian
ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka.
Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik
dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman:
"... Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)
"Maka apakah
kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22)
Rasulullah saw.
bersabda:
"Barangsiapa
yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya, maka
hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Adapun lafazh
dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang
tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun
Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham
adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah.
Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan
pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula
secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman
(saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu
laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.
B. Pendapat
Beberapa Imam tentang Dzawil Arham
Para imam mujtahid
berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam
hal ini ada dua pendapat:
Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak
berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris
tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu
dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan
masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta
tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat
demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat
darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i
rahimahumullah.
Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak
mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima
harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham
adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab
mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan
untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur
ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga
merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
Adapun dalil yang
dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah:
1. Asal pemberian
hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan
qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash
yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris.
Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita
memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini
menurut syariat Islam adalah batil.
2. Rasulullah saw.
ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu--
beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku
bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."
Memang sangat
jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara
perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak
untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan
tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan
bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan
istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat
dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris
kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain.
3. Harta
peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik
dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke
baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut
merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada
kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan
mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah
ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan
pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan
harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para
kerabat.
Adapun golongan
kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham
atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu
dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"...
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
Makna yang
mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan
menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan
atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti
kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain
keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan
rahim atau lebih umumnya hubungan darah.
Ayat tersebut
seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik
ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang
lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila
pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka
berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang
lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk
menerima hak waris ketimbang baitulmal.
Hal ini juga
berdasarkan firman-Nya yang lain:
"Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan." (an-Nisa': 7)
Melalui ayat ini
Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk
menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak.
Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil
arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk
menerima warisan.
Kemudian
sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh
(menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin
saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka
yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh
karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan
seorang pewaris.
Adapun dalil dari
Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur,
dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka
Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui
nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal
sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak
laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.
Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu
Lubabah bin Abdul Mundzir.
Keponakan
laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat,
yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan
pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan
tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata
pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para
'ashabah.
Dalam suatu atsar
diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin
Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal
bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang.
Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara
laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu
Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena
sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara
laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan
atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."
Atsar ini --yang
di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil
yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris
ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta
peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan
'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu
Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab,
Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu
tamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti
seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.
Adapun dalil
logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk
menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara
baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris
seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam
dan ikatan rahim.
Oleh sebab itu,
ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan
satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung
laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta
waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung
laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan
saudara seayah hanya dari ayah.
Di samping itu, kelompok
kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan
Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas.
Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat
waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas
--jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw.
tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada
'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas
bertentangan.
Setelah
membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur
ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan
pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang
mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika
dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh,
kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat,
sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan
persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya,
adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna
dalam menyalurkan harta baitulmal.
Maka muncul
pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita
sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali:
"telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika
musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan
memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian
membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan.
Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya:
"Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak
mempunyai imam."
Melihat kenyataan
demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan
fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah
abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga
terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua
kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan
pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat
terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada,
dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.
C. Cara Pembagian
Waris Para Kerabat
Di antara fuqaha
terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para
kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara
pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat
berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan,
dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak
perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara
perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki
keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian
waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli
waris yang ada.
Mazhab ini dikenal
dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini
tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam
hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan
seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu
haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak
masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama
atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan
alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur
dalam disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini
disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada
kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli
waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari
ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan
hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni
pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat
para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas
pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti
berikut:
- Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu
perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara
kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki
seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak
perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh
karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah
(1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian,
sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub)
disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu
ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
- Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan
perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan
keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara
perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara
laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan
keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian,
keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan
laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6)
bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga
mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian
dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman
kandung. Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand.
1/6
Begitulah cara
pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat
kekerabatannya kepada pewaris.
Adapun yang
dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai
sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada
seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu)
kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi
(dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi
diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).
Selain itu, juga
berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang
pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan
anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka
Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian
lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa
hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan
betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih
orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah
bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan
berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian
mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara
jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang
lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih
berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah
dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk
mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau
menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada
pewaris.
3. Menurut Ahlul Qarabah
Adapun mazhab
ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat
derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan
dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di
antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi
dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah
diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab
ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris
para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya
dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada.
Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian
laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Mazhab ini
merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab
Hanafi.
Di samping itu,
mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat
golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan
keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang
tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:
- Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada
pewaris.
- Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh
pewaris.
- Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua
pewaris.
- Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek
pewaris atau kedua nenek pewaris.
Yang bernisbat
kepada pewaris sebagai berikut:
- Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan
seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
- Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan
keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun
perempuan.
Yang dinisbati
oleh pewaris:
- Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti
ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
- Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti
ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat
kepada kedua orang tua pewaris:
- Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang
seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
- Keturunan perempuan dari saudara kandung
laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
- Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan
seterusnya.
Yang bernisbat
kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
- Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi
kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu)
pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
- Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah),
keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya
(saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang
seibu, dan seterusnya.
- Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung,
seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi
dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman
dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
- Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu
dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang
ayah.
- Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek.
Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan
nenek.
- Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di
atas (Butir e) dan seterusnya.
Itulah keenam
kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.
Perbedaan antara
Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
Dari uraian-uraian
sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab
ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
- Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan
kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang
lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan
satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
- Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam
mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan"
dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul
qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan
kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum
wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Cara Pembagian
Waris Menurut Ahlul Qarabah
Telah saya
kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam
pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian,
menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan
pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya:
ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan
saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan
paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka
yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau
seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok
berikutnya
D. Syarat-syarat
Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham
- Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada
shahibul fardh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya
pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan
kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan
waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
- Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah
akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada
shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka para 'ashabah akan
menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para shahibul
fardh.
Namun, apabila
shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima
hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab
kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham.
Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.
Beberapa Catatan
Penting:
Apabila dzawil
arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka
ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan
salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila
bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:
a.
Mengutamakan dekatnya kekerabatan.
Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari keturunan anak
perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang
didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.
- Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang
lebih berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris
lewat shahibul fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu
laki-laki dari keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan
adalah cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki.
Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris,
keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai
cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada
pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak
perempuan melalui dzawil arham.
- Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka
haruslah mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara
kandung laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari
saudara laki-laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan
seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh
harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung
lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
- Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya
dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham
berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang
anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak
paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman
kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini
meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya
dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat
yang sama dari segi kekerabatan.
Catatan lain
Di antara
persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian hak
waris terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian
perempuan, seperti halnya dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham
itu keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
Penutup
Itulah sekelumit
mengenai hak waris para dzawil arham menurut mazhab ahlul qarabah yang merupakan
mazhab imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama mazhab Hanafi. Pendapat ini
banyak diterapkan di sebagian negara Arab dan negara Islam lainnya.
Sebenamya, di
kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang cara pembagian
masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan Imam Muhammad
(keduanya murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun, saya tidak
mengemukakannya di sini sebab akan bertele-tele dan menjenuhkan. Oleh
karenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas dalam masalah ini dapat
merujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak
diamalkan adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang
kemudian dianut oleh ulama muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena
dari segi pengamalannya memang lebih mudah.
D. Definisi Hamil
Al-hamlu (hamil)
dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat.
Dikatakan: "al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa"
(wanita itu hamil apabila ia sedang mengandung janin).
Allah berfirman
dalam Al-Qur'an:
"Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula) ..." (al-Ahqaf: 15)
Sedangkan menurut
istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki
maupun perempuan.
Dalam masalah
hamil ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, dan pada
kesempatan ini saya hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allah saya
memohon pertolongan.
Pada pembahasan
sebelumnya --tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah saya kemukakan
bahwa salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah
keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang
masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang
diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi
tersebut akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau
kembar. Setelah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan
bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga
jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada
ketika pewaris wafat.
Secara ringkas
dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti
keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang
harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus
menunggu setelah bayi itu lahir.
Namun demikian,
tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat --menyangkut
kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuk segera membagi
harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada
masing-masing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan
dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci
dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris
yang ada.
E. Syarat Hak
Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam
kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
- Janin tersebut diketahui secara pasti
keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
- Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut
ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat
warisan.
Syarat pertama
dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi
dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang
ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah
r.a.:
"Tidaklah
janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada
dalam falkah mighzal."
Pernyataan Aisyah
r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw..
Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu
pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab
Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat
tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang
disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan
persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan
nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru
lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau
yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan
gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut
mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya
dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan
adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang
dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia
tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila bayi
yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah
dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila
bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar
separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan
hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap
tidak ada.