“SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT
DARI MASA KE MASA”
Makalah
ini ditujiukan untuk memenuhi matakuliah Filsafat Umum
oleh :
Angga Tasmita
NIM : 0309498
K0NSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
F A K U L T A S I L M U T A R B I Y A H
S T A I D A R U N N A J A H
J A K
A R T A
1433 H / 2012
Kata Pengantar
Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa, sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta
seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta
inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “Sejarah
dan Perkembangan Filsafat Dari Masa ke Masa” yang sederhana ini
dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud
dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu
dari sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Ilmu serta merupakan bentuk langsung
tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana
penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput
dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza
Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis
nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak
sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang
dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi
seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Negeri Surabaya. Amien ya Rabbal
‘alamin.
Wassalalam,
Jakarta,
2 Maret 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL……………………………………………………………………………. i
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………. ii
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………………… iii
BAB I :
Pendahuluan………………………………………………………………………… 1
A. Latar
Belakang………………………………………………………………. 1……..
B.
Klasifikasi Filsafat…………………………………………………………… 2
1. Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah……………………………… 3
2. Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama…………. 5
BAB II :
Pembahasan………………………………………………………………………… 9
A. Kajian
Filsafat………………………………………………………………… 9……..
B.
Munculnya Filsafat………………………………………………………… 11
C. Sejarah
Perkembangan Awal Filsafat Dunia……………………….. 12
BAB III :
Penutup……………………………………………………………………………. 21
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………………… 23
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan
dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia
ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau
kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh
taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk
mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu.
Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan.
Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
(1) disusun metodis, sistematis dan
koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan
(realitas), dan yang
(2) dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang
khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu
tentang seluruh kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang
sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita
mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia
lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka
lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah
jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah
filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada
sejauh mungkin bagi manusia . Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat
pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala
kebenaran (Al-Kindi, 801 – 873 M).
Metode filsafat adalah metode
bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek
materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala
sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua
mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang
segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala
sudut pandang. Thinking about thinking.
Meski bagaimanapun banyaknya
gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya masih sulit untuk
mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran
hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu.
Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah
habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak
untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan.
B. Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan
pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya
sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi
filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut
daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi
menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama.
Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat
Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”,
“Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.
1.) Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah
a. Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari
secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan
mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun
pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan
rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan
Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah,
maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak
akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam
pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas
Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl
Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri yang
notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya
pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut
adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang
masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris
(kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau
tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema
yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti
“pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti
batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang
membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan
manusia. Nilai sosial .
b. Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama
berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang
pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia
Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama
beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao
Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
‘‘‘Filsafat Timur
Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari
sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan
ahli waris tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang
pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa
orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan
menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka
menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi
masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf
Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka
dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah:
Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh
disebut bergitu)dan Averroes.
2.) Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama
a. Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah
filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani
dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah
muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat
lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya
filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka,
bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan
‘sudah ditemukan.’
Pada mulanya filsafat berkembang di
pesisir samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 M yang ditandai dengan
pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan
Tuhan. Dari sinilah lahirlah sains-sains besar, seperti fisika, etika,
matematika, dan metafisika yang menjadi batubara kebudayaan dunia.
Dari Asia Minor (Mediterania)
bergerak menuju Athena yang menjadi tanah air filsafat. Ketika Iskandariah
didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, filsafat mulai merambah dunia timur,
dan berpuncak pada 529 M.
b. Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya
disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad
pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman
kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan
agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis[1]
dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli
masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan
lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama
lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis.
Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Buddha dalam bahasa Sansekerta berarti
mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan sejati (Dari perkataan
Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu yang menyadari
potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya.
Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta
Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha
(dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan lainnya, ia merupakan
tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai
sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang
menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang
sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada
kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan)
dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan.
Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha adalah
serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha
dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama.
Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat
tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan
benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan
kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme
merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat
lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai
“Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai
“Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang. Yin
dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap
benda adalah dualisme, terdapat positif mesti adanya negatif; tidak bernegatif
dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet
memiliki kutub positif dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan;
tanpa positif, tidak akan wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.
Tse Laozi yang meninggalkan Chuguo dengan koaknya Laozi
meninggalkan dua karya yang berjudul De dan Dao (Judul pertama
adalah “De” dan kedua adalah “Dao” ) sebelum meninggalkan Chuguo. Kedua kitab
digabungkan dan diperkenalan sebagai Daode Jing yang memiliki 5000 huruf Tionghua dalam 81 bab
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kajian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem
falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi
yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak
dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu
dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat
tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode
berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah
proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah
bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika
bahasa.
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang
filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster
(dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat
manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan
teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa
definitif pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk
melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan
batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan
nilainya. Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu
yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk
mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman
Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos
ialah Pytagoras (592-497 S.M.)[5],
setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles)
yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan
kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata tersebut merupakan kata majemuk
dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia =
“kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda
juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya.
Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut
“filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti
filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan
ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut pengertiannya
yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun,
cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia
tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang
Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta
dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup
dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah
luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran.
Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan
sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan
hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang disajikan
bidang-bidang studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki
atau menanyakan sifat dasarnya, nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya
adalah pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan pendekatan
yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan
erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman manusia.
B.
Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya
ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang
diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat
segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos
(rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang
dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu
berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka
melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh
tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian
yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang
memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah,
mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara
logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan
bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam
semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani.
Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak
kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai
berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang
dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih
bebas.
C.
Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali
dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar
filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat
Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam
semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos,
filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal
mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H.
Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam
beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode
itu.
a. Periode pertama, filsafat Yunani
abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros,
dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales
berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup
adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga
berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros
mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama
terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai
pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat
raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam
tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki
pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan
fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan
lain sebagainya.
b. Periode Kedua, Periode setelah
kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh
para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat.
Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi
kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi
beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak
mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
c. Periode Ketiga, Periode kejayaan
Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan,
ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan
atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli
dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara
tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam
hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran
dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat,
Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan
kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu
Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan
kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah
perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan
porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof
Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine
(354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 –
524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar
filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan
Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya,
karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories
dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan
Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa,
maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak
akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar
dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM)
adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM).
Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM).
Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga
munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab
filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun
Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya
Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal
Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan
filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, danIbnu Rushd.
Berbeda
dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu
Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat
adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu
baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya
kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Sedangkan
Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di
Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu
Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan
Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang
ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama,
sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk
menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First
Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan
kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang
bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd
dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya
karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan
pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah
pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat
menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut
Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku
karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya
Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd
telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai
perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran
filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang
didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan
ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami
kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor
terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham
pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang
menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas,
Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak
menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya
Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan
oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah
masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
d. Periode Keempat, Periode
kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah
mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan
karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina
dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin
menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum
muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar
Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini
menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi
oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan
buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam
Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam,
berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman
kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan
dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada
tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia,
ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick
mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas
menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun
1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan
terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin.
Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil
terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah
berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo
dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk
menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna
mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan
pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari
Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah
Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk
mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya
mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256.
Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan
Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh
karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab
tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
e. Periode Filsafat Modern (Abad
17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen
yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan
juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran
Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas,
empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia
islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin
buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut
aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan
gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga
mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam
agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja
dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar
dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan
teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak
gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas
mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir.
Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya
yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam
tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang
gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada
masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia
berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh
agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada
beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah
rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya,
meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang
inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat
berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes
(1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode
yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan
segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian
kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan
bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata
hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini
bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan
sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata
kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku
berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal
lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan
terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang
jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu
menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang
percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume
(1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.
Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun
yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa
seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada
batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui
persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804)
mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.
Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah
separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera
kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita
memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang
ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa
kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding
an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua
orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada
pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi
lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya
dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari
dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah
dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang
tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas
seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi
aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern.
Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant
saling menkritik satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang
sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita
mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia
lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka
lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah
jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang
memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka
filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode
bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedang objek
materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan
hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada
sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani
dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea
(Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih
bebas.
Dalam perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa
pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja
dan imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di mana
dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa ketika itu.
Filsafat Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam
dinasti Abbasiyah sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia
filsafat Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para kaum filsuf yang
diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali yang menganggap
filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme bergolak. Hal ini
setelah Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan
terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli
atau mistikus agama.
Setelah abad ke-13, peradaban filsafat islam benar-benar
mengalami kejumudan setelah kaum ulama berhasil memenangkan perdebatan panjang
dengan kaum filosof. Kajian filsafat dilarang masuk kurikulum pendidikan.
Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir kepada para ulama dan ahli
tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam filsafat sedang menjamur.
Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa
latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah pihak gereja berkuasa pada
masanya dan sebelum peradaban Islam mulai menerjemahkan teks-teks aristoteles
dan lain sebagainya oleh Al Kindhi, di Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi
buku-buku filsafat hasil peradaban Yunani.
Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia islam
bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke eropa, peradaban islam pun mengalami
kemunduran sementara di eropa sendiri mengalami masa yang disebut sebagai abad
Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M.
Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas gereja. Periode
ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi terbelah. Doktrin para pendeta
katolik terus mendapatkan protes dari kaum Protestan.
Adapun para filsuf zaman modern setelah masa aufklarung,
abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau
ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.
Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl Marx,
Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
è
www.muslimphilosophy.com
è id.wikipedia.org
è www.cidcm.umd.edu
è blog.wordpress.com
è philosopi Mingguan
Indonesia
è Harian KOMPAS Rabu, 02
Mar 2005 Halaman: 46
è kognItar.wordpres.org